kabarfaktual.com – Mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS, yang sebelumnya ditahan karena mengunggah meme kontroversial bergambar Presiden ke-7 dan ke-8 RI, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, kini resmi dibebaskan sementara oleh pihak kepolisian. Penangguhan penahanan ini diberikan setelah permintaan resmi dari orang tua dan pengacaranya dikabulkan oleh Mabes Polri.

Melalui kuasa hukumnya, Khaerudin Hamid Ali Sulaiman, SSS menyampaikan permohonan maaf dan terima kasih kepada Presiden Prabowo, mantan Presiden Jokowi, serta Kapolri atas sikap bijak mereka dalam menyikapi kasus yang sempat menjadi perhatian publik nasional.

“Kami berterima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Presiden Prabowo dan Bapak Jokowi, serta kepada Kapolri atas pengabulan penangguhan penahanan,” ujar Khaerudin di Bareskrim Polri, Minggu malam (11/5/2025).

Permohonan penangguhan diajukan oleh keluarga dan pihak kampus, yang berharap agar SSS dapat kembali melanjutkan pendidikannya serta dibina secara akademik dan pribadi. Polisi sendiri mempertimbangkan aspek kemanusiaan, penyesalan mendalam dari SSS, serta itikad baik yang ditunjukkan oleh keluarga.

“Penangguhan ini didasari pendekatan kemanusiaan serta memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk melanjutkan perkuliahan,” jelas Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri.

SSS sebelumnya ditahan pada 7 Mei 2025, setelah diduga menyebarluaskan sebuah meme satir yang menggambarkan Jokowi dan Prabowo tengah berciuman. Unggahan tersebut memicu reaksi keras dan dinilai melanggar etika serta norma hukum, terutama karena menyangkut simbol negara.

Atas tindakannya, SSS dijerat dengan Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 dan/atau Pasal 51 Ayat 1 juncto Pasal 35 dari UU ITE yang telah diperbarui pada 2024. Kasus ini memunculkan kembali perdebatan soal batasan kebebasan berekspresi di ranah digital.

Saat ini, proses hukum masih berjalan. Meski SSS telah ditangguhkan penahanannya, status tersangka tetap melekat. Penyidik Polri menegaskan bahwa semua prosedur akan dilalui secara profesional dan sesuai hukum.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa kebebasan di ruang digital datang dengan tanggung jawab hukum dan sosial. Di sisi lain, penangguhan ini menunjukkan bahwa pendekatan restoratif dan kemanusiaan masih menjadi ruang pertimbangan dalam sistem peradilan kita.