kabarfaktual.com — Pemerintah Inggris mengumumkan nota kesepahaman baru dengan Otoritas Palestina yang menegaskan kembali dukungan tegas terhadap solusi dua negara berdasarkan perbatasan tahun 1967. Langkah ini menandai sikap diplomatik yang semakin berbeda dari kebijakan Israel, khususnya menjelang Sidang Umum PBB yang akan digelar September mendatang.
Dalam dokumen resmi tersebut, Inggris menolak pengakuan atas pendudukan Israel di sejumlah wilayah Palestina, termasuk Yerusalem Timur. London menyatakan bahwa wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur seharusnya berada di bawah satu otoritas pemerintahan yang sah.
Selain itu, nota itu juga menekankan pentingnya peran Otoritas Palestina dalam tahap pemulihan dan stabilisasi Gaza pasca konflik. Inggris mendorong agar otoritas tersebut memegang kendali dalam urusan pemerintahan, keamanan, dan pembangunan kembali wilayah yang hancur akibat serangan.
Sikap ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan antara Inggris dan Israel. Beberapa waktu lalu, Inggris telah menjatuhkan sanksi terhadap dua pejabat tinggi Israel Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich karena dianggap kerap menghasut kekerasan terhadap warga Palestina.
Situasi kian memanas setelah Parlemen Israel pada 23 Juli lalu meloloskan mosi simbolik yang mendorong pemerintah mencaplok wilayah Tepi Barat yang diduduki. Tak lama berselang, pada 4 Agustus, laporan media menyebut bahwa pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tengah menyusun rencana untuk memperluas kendali militer secara penuh atas Jalur Gaza, termasuk kawasan barat Kota Gaza dan wilayah kamp pengungsi.
Nota kesepahaman terbaru dari Inggris juga memuat seruan agar diadakan pemilihan umum yang inklusif di seluruh wilayah Palestina termasuk di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur guna mendorong legitimasi politik yang lebih kuat di bawah satu pemerintahan terpusat.
Lebih jauh, dokumen tersebut menegaskan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri, termasuk hak untuk mendirikan negara merdeka. Inggris secara tidak langsung juga menolak usulan Amerika Serikat mengenai kemungkinan penempatan pihak ketiga untuk mengelola Gaza, dengan menyatakan bahwa proses rekonstruksi dan pemulihan harus dipimpin oleh pihak Palestina sendiri.
Langkah diplomatik ini memperkuat rencana Inggris untuk mengakui secara resmi negara Palestina dalam waktu dekat, bersamaan dengan sikap serupa yang diumumkan Prancis pada akhir Juli lalu. Jika terealisasi, keduanya akan menjadi negara G7 pertama yang mengambil langkah tersebut secara resmi.
Namun, keputusan ini memicu reaksi keras dari pemerintah Israel. Melalui platform X (sebelumnya Twitter), kantor Perdana Menteri Israel mengkritik kebijakan Inggris yang disebut “menghadiahi terorisme” dan “mengancam keamanan kawasan”. Mereka menyatakan bahwa berdirinya negara Palestina saat ini akan menjadi ancaman, tidak hanya bagi Israel, tetapi juga bagi sekutu-sekutunya.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sendiri tengah menjadi subjek penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan perang, termasuk tuduhan penggunaan kelaparan sebagai alat tekanan militer dalam konflik di Gaza.
Tinggalkan Balasan