kabarfaktual.com – Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menandatangani perintah eksekutif untuk menarik Washington dari keanggotaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin (20/1) waktu setempat.

Langkah ini diambil hanya beberapa jam setelah dirinya resmi dilantik sebagai Presiden AS ke-47.

Sambil menandatangani dokumen tersebut, Trump menegaskan bahwa AS telah membayar kontribusi kepada WHO lebih banyak dibandingkan China.

Trump memang telah lama mengkritik WHO, terutama selama pandemi Covid-19 saat ia menjabat dalam periode pertamanya sebagai presiden AS.

Kala itu, ia berulang kali mengancam akan mengeluarkan AS dari WHO, yang menurutnya secara tidak adil membebani keuangan AS.

Dikutip dari New York Times, salah satu dampak utama dari keluarnya AS dari WHO adalah Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) tidak lagi memiliki akses ke data kesehatan global.

Hal ini dapat menghambat respons AS terhadap penyakit menular, mengingat WHO memiliki laporan kesehatan terkini dari seluruh dunia, termasuk informasi wabah dari China yang sebelumnya sangat penting selama pandemi Covid-19.

Hingga kini, belum jelas bagaimana dampak keluarnya AS terhadap WHO dan jaringan kesehatan global.

Sebab, AS selama ini merupakan salah satu donatur terbesar dalam organisasi-organisasi PBB, termasuk WHO.

Selain itu, WHO baru-baru ini menghadapi kritik dari kelompok konservatif terkait perancangan “perjanjian pandemi”, yang bertujuan untuk memperkuat kesiapsiagaan terhadap pandemi dengan kebijakan yang mengikat secara hukum bagi negara-negara anggota.

Pada hari yang sama, Trump juga menandatangani perintah eksekutif untuk menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement.

“Saya segera menarik diri dari penipuan Perjanjian Iklim Paris, yang tidak adil dan sepihak,” kata Trump sebelum menandatangani perintah tersebut.

“Amerika Serikat tidak akan menyabotase industri kita sendiri, sementara China mencemari dengan impunitas,” tambahnya, dikutip dari Reuters.

Keputusan ini menempatkan AS bersama Iran, Libya, dan Yaman sebagai beberapa negara di dunia yang tidak ikut serta dalam pakta tersebut.

Dalam Perjanjian Iklim Paris, negara-negara yang tergabung sepakat untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, guna menghindari dampak buruk dari perubahan iklim.