kabarfaktual.com – Penerbitan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memicu polemik di kalangan akademisi hukum, advokat, hingga lembaga pengawas kepolisian. Aturan tersebut mengatur penugasan anggota Polri aktif di luar struktur kepolisian, termasuk membuka ruang penempatan di 17 kementerian dan lembaga negara.

Kebijakan ini menuai kritik karena dinilai bertabrakan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Dalam putusan yang dibacakan pada 13 November 2025 itu, MK menegaskan anggota Polri yang hendak menduduki jabatan sipil wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Namun, Perpol 10/2025 justru diteken pada 9 Desember 2025, atau kurang dari satu bulan setelah putusan tersebut.

Dalam Perpol itu, Polri merinci sejumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh anggota polisi aktif. Daftar tersebut mencakup kementerian koordinator hingga lembaga strategis seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Guru Besar Hukum Tata Negara Mahfud MD menilai Perpol tersebut tidak sejalan dengan konstitusi dan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Menurut Mahfud, putusan MK telah menghapus mekanisme penugasan anggota Polri ke jabatan sipil tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri dari institusi kepolisian.

“Putusan MK sudah sangat jelas. Tidak ada lagi ruang penafsiran bahwa polisi aktif bisa ditempatkan di jabatan sipil hanya berdasarkan penugasan dari Kapolri,” ujar Mahfud, Jumat (12/12/2025).

Mahfud juga menyoroti ketidaksesuaian Perpol 10/2025 dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Ia menjelaskan, UU ASN menyerahkan pengaturan soal pengisian jabatan oleh Polri kepada UU Polri. Sementara itu, UU Polri sendiri tidak secara eksplisit menyebut daftar kementerian atau lembaga sipil yang dapat diisi oleh polisi aktif, berbeda dengan UU TNI yang secara tegas membatasi jabatan sipil bagi prajurit aktif.

“Karena itu, Perpol ini kehilangan dasar hukum dan legitimasi konstitusional,” tegas mantan Ketua MK tersebut.

Pandangan serupa disampaikan advokat Syamsul Jahidin, pemohon dalam perkara uji materi UU Polri di MK. Ia menilai penerbitan Perpol 10/2025 sebagai bentuk pengabaian terhadap hierarki peraturan perundang-undangan.

“Peraturan internal tidak boleh menabrak putusan MK. Ini bentuk pembangkangan terhadap konstitusi,” ujar Syamsul.

Ia mengingatkan, Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 telah menegaskan fungsi Polri sebagai alat negara di bidang keamanan dan penegakan hukum, bukan untuk mengisi jabatan sipil yang seharusnya menjadi domain aparatur sipil negara. Menurutnya, praktik penempatan polisi aktif di jabatan sipil justru berpotensi merusak tatanan birokrasi dan netralitas institusi.

Dari sisi pengawasan, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam meminta Polri memberikan penjelasan lebih rinci mengenai fungsi jabatan yang dapat diisi oleh anggota Polri aktif. Ia menilai pencantuman nama kementerian dan lembaga saja belum cukup tanpa kejelasan tugas yang relevan dengan fungsi kepolisian.

“Yang perlu diperjelas bukan hanya di mana ditempatkan, tetapi mengerjakan fungsi apa. Apakah benar-benar terkait dengan tugas kepolisian atau tidak,” kata Anam.

Sementara itu, Polri menyatakan kebijakan tersebut telah memiliki dasar hukum. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan, Perpol 10/2025 disusun berdasarkan sejumlah regulasi yang masih berlaku.

Menurut Trunoyudo, penugasan anggota Polri di luar struktur kepolisian merujuk pada Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, serta Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Ia menegaskan, mekanisme penempatan tersebut dirancang untuk menghindari rangkap jabatan dan disesuaikan dengan kompetensi personel.

Kendati demikian, polemik Perpol 10/2025 masih terus bergulir. Perbedaan tafsir antara Polri dan para ahli hukum menempatkan aturan ini dalam sorotan publik, sekaligus membuka kembali perdebatan lama soal batas peran Polri dalam ranah sipil di negara demokrasi.