kabarfaktual.com — Forum Persatuan Wawolemo dan Pondidaha Menggugat bersama masyarakat adat menggelar aksi demonstrasi di depan kantor DPRD Kabupaten Konawe dan kantor Bupati Konawe, Selasa (26/8). Aksi ini menjadi sorotan publik karena menuntut penyelesaian konflik agraria yang telah berlangsung bertahun-tahun di wilayah Amonggedo–Pondidaha.

Fokus utama aksi adalah dugaan penyerobotan lahan ulayat milik masyarakat adat oleh sejumlah oknum dan perusahaan, termasuk perusahaan tambang nikel PT ST Nikel Resources serta perusahaan galian batu PT Sinarjaya (Konaweaha Makmur). Massa menilai keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut tidak sah karena tidak mengantongi persetujuan resmi dari pemilik hak ulayat maupun masyarakat adat setempat.

“Kami tegaskan, tanah ulayat ini memiliki dasar legalitas yang kuat, baik secara adat maupun hukum nasional. Ada dokumen penguasaan dan riwayat kepemilikan turun-temurun. Masuk tanpa izin berarti melanggar hukum,” tegas Usman, salah satu ahli waris tanah ulayat.

Dalam orasinya, massa aksi menyampaikan bahwa praktik-praktik eksploitasi yang terjadi saat ini melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, antara lain:

  • Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Menegaskan pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat.

  • UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA): Melindungi hak ulayat selama masih diakui oleh masyarakat.

  • UU No. 32 Tahun 2009: Menekankan pentingnya partisipasi dan persetujuan masyarakat terdampak dalam kegiatan pertambangan dan industri.

  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: Menjamin hak masyarakat atas tanah dan sumber penghidupan.

Jenderal Lapangan aksi, Indra Dapa Saranani, menilai bahwa pemerintah daerah, khususnya Bupati Konawe, tidak boleh tinggal diam terhadap dugaan perampasan hak masyarakat adat.

“Bupati Konawe harus segera turun tangan! Jika diam, itu sama saja dengan membiarkan pelanggaran hukum terjadi dan merampas hak masyarakat,” tegas Indra.

Dalam tuntutannya, massa mendesak DPRD Konawe segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hukum oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi tanpa izin masyarakat adat.

Masyarakat adat dari Rumpun Keluarga Saeka juga mendesak pemerintah daerah untuk segera turun ke lapangan, menghentikan sementara seluruh aktivitas perusahaan di atas tanah ulayat seluas 2.700 hektar, serta memerintahkan instansi terkait melakukan pematokan batas wilayah ulayat.

Jika tuntutan ini tidak direspons dalam waktu dekat, masyarakat adat menyatakan siap melakukan aksi lanjutan.

“Kami tegaskan, jika tidak ada respons dari Bupati Konawe, maka masyarakat adat akan memblokade jalan di simpang tiga Pondidaha–Amonggedo,” tutup pernyataan massa aksi.