Politisi Senior Partai Demokrat ini menyarankan rencana anggaran yang akan digunakan untuk membeli Mirage 2000-5 sebaiknya dialihkan untuk pembelian pesawat baru atau perawatan alutsista pesawat tempur yang telah ada.

Apalagi, pengirimannya akan memakan waktu hingga 24 bulan setelah kontrak yang disepakati pada 31 Januari 2023. Estimasi tersebut hanya selisih 1 tahun dengan kedatangan jet tempur Rafale yang diperkirakan sampai Indonesia pada 2026.

Di tengah gempuran situasi geopolitik global yang tak berkepastian, pembelian alutsista bekas justru tak cukup memperkuat kemampuan militer. Syarief menganggap walau dunia sedang menegang, namun potensi invasi atau perang global masih sangat kecil.

Tak ada urgensi pengadaan alutsista bekas dengan menggelontorkan sejumlah besar uang negara. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan faktor keberlanjutan, alutsista yang berusia lama dan tua harus mendapatkan perawatan yang sangat tinggi sehingga tak efektif.

“Kapasitas fiskal yang terbatas, harus digunakan seefisien mungkin. Selain opsi pembelian alutsista baru, yang juga penting adalah peningkatan kapasitas alutsista yang ada. Kita harus menjamin angkatan perang kita siap sedia menghadapi ancaman perang. Tentunya kualitas alutsista perlu diperkuat, selain perlunya mendorong kapasitas SDM, teknologi, dan finansial industri pertahanan. Dengan begitu, ketahanan nasional semakin kuat dan maju, baik di tataran regional maupun global,” tutupnya.(SW)