kabarfaktual.com – Suasana duka menyelimuti Brasil setelah jenazah Juliana Marins (26), pendaki asal Rio de Janeiro, tiba kembali di tanah kelahirannya pada Selasa malam waktu setempat. Juliana tewas tragis setelah terjatuh saat mendaki Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Indonesia, pekan lalu.

Kedatangan jenazah disambut dengan pengawalan ketat. Pesawat militer milik Angkatan Udara Brasil (FAB) membawa Juliana dari Bandara Internasional Guarulhos setelah lebih dulu mendarat di Pulau Governador, Zona Utara Rio, dengan penerbangan Emirates dari Dubai.

Sesampainya di Brasil, jenazah langsung dibawa ke Institut Medis Hukum Afrânio Peixoto (IML) untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Meskipun proses autopsi pertama telah dilakukan di Bali pada 26 Juni lalu, pihak keluarga menilai hasilnya belum memuaskan dan meminta autopsi kedua dilakukan di Brasil.

Autopsi awal menunjukkan bahwa Juliana meninggal akibat trauma fisik berat berupa patah tulang dan luka dalam. Ia diperkirakan sempat bertahan hidup sekitar 20 menit setelah jatuh. Tidak ditemukan tanda-tanda hipotermia.

Namun, keluarga masih menyimpan tanda tanya besar atas sejumlah aspek, termasuk waktu kematian dan dugaan keterlambatan proses evakuasi. Hal inilah yang mendorong permintaan autopsi ulang di Brasil.

“Analisis baru sangat penting untuk memastikan kebenaran dan memberi kepastian hukum bagi keluarga,” jelas Taísa Bittencourt Leal Queiroz, kuasa hukum keluarga, kepada media nasional Globo.

Tak hanya mengupayakan kejelasan medis, keluarga Juliana juga mulai menempuh jalur hukum. Kantor Pembela Umum Federal Brasil (DPU) telah meminta Kepolisian Federal (PF) untuk menyelidiki kemungkinan adanya unsur kelalaian dari pihak otoritas Indonesia dalam proses pertolongan.

Jika bukti awal mengarah ke pelanggaran hak asasi manusia atau kelalaian fatal, kasus ini berpotensi dibawa ke Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika (IACHR), sebuah badan independen yang bermarkas di Washington, D.C.

“Kami menunggu laporan lengkap dari Indonesia. Setelah itu, baru bisa ditentukan apakah kasus ini layak dibawa ke level internasional,” tambah Taísa.

Apa Peran IACHR dalam Kasus Ini?

Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika (IACHR) adalah lembaga otonom di bawah Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS). Didirikan tahun 1959, IACHR bertugas memantau, menyelidiki, dan menyoroti pelanggaran HAM di wilayah Amerika.

Meski tidak memiliki kekuasaan eksekusi hukum, rekomendasi IACHR kerap menjadi tekanan moral dan diplomatik yang serius bagi negara-negara anggota. Jika lembaga ini menerima pengaduan dan menemukan pelanggaran, mereka dapat mengeluarkan pernyataan dan rekomendasi publik untuk mendorong perubahan kebijakan atau meminta pertanggungjawaban.

Kisah Juliana Marins bukan sekadar kecelakaan tragis di jalur pendakian. Bagi keluarganya, ini adalah panggilan untuk mencari keadilan dan memastikan bahwa semua prosedur penanganan darurat telah dilakukan sesuai standar internasional.

Kini, perhatian publik di Brasil terus tertuju pada hasil autopsi kedua dan kemungkinan terbukanya penyelidikan internasional. Apakah tragedi ini akan menjadi awal dari perbaikan sistem keselamatan wisata alam di kawasan Asia Tenggara? Waktu yang akan menjawabnya.