kabarfaktual.com — Sejumlah aktivis reformasi 1998 menggelar acara peringatan sekaligus aksi penolakan terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Acara tersebut berlangsung di Jakarta Pusat pada Sabtu (24/5), dengan dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat sipil yang pernah terlibat dalam gerakan reformasi.

Dalam pernyataan tegas, para aktivis menyuarakan penolakan atas usulan tersebut karena menganggapnya sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat dan cita-cita reformasi. Ketua Panitia Acara, Simson, menegaskan bahwa mereka ingin mengajak publik untuk mengingat kembali sejarah perjuangan 1998.

“Acara kita hari ini menegaskan bahwa kita perlu mengasah ingatan tentang pentingnya kembali ke cita-cita reformasi ’98,” ujar Simson saat menemui awak media. “Dengan maraknya wacana gelar pahlawan bagi Soeharto, kami sangat menolak. Kami menolak keras pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan,” lanjutnya.

Simson juga menyoroti kemunduran demokrasi dan lemahnya penegakan hukum yang hingga kini masih mengecewakan rakyat. Ia bersama aktivis lainnya mengutuk segala bentuk glorifikasi terhadap sosok Soeharto, terutama dalam bentuk gelar kehormatan negara.

Aktivis lainnya, Mustar, juga menyampaikan pandangan serupa. Ia menilai bahwa usulan tersebut mengabaikan sejarah kelam Orde Baru dan menyakiti perjuangan para korban. “Ini bukan sekadar peringatan, tapi bentuk penolakan atas wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Kami bersepakat menolak,” ujar Mustar.

Menurut Mustar, demokrasi hari ini tidak lahir secara cuma-cuma, melainkan hasil dari perjuangan panjang dan pengorbanan yang nyata. Dalam acara tersebut, para aktivis memasang simbol tengkorak dan tulang belulang di atas panggung untuk mengingatkan publik pada kekerasan dan pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru.

Jimmy Fajar, aktivis reformasi lainnya, menjelaskan bahwa simbol tersebut mewakili korban penculikan dan pembunuhan yang belum terungkap hingga kini. “Simbol ini mewakili zaman Petrus, penculikan aktivis, kasus Marsinah, Widji Thukul, dan Kedung Ombo. Banyak warga hilang dan belum kembali sampai sekarang,” ujar Jimmy.

Hengki, aktivis dari ISIP, juga mengangkat data pelanggaran HAM berat sejak 1965 hingga kerusuhan Mei 1998. “Kurang lebih 800.000 sampai 1,3 juta rakyat terbunuh tanpa proses hukum. Fakta ini menunjukkan bahwa Soeharto tidak pantas menyandang gelar pahlawan,” tegasnya. Ia juga mengajak masyarakat untuk mendukung tokoh lain yang lebih layak menerima penghargaan tersebut.

Sebelumnya, wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto memang memicu pro dan kontra. Presiden ke-2 RI itu mewariskan sejumlah kebijakan kontroversial selama tiga dekade masa kekuasaannya.

Bupati Tapanuli Tengah sekaligus aktivis 1998, Masinton Pasaribu, turut menyuarakan keberatannya. Ia mengimbau pemerintah agar tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan soal gelar tersebut. “Ini sejarah masih berjalan. Jadi, pemberian gelar sebaiknya jangan dulu,” ujar Masinton saat ditemui di Jakarta Selatan, Rabu (21/5).

Masinton juga mengajak para aktivis reformasi untuk merenungkan secara kolektif makna dari penghargaan pahlawan nasional dan menilai siapa yang pantas menerimanya berdasarkan rekam jejak sejarah.