kabarfaktual.com – Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemberian amnesti kepada 44.000 narapidana. Menurut Maidina, transparansi sangat penting agar publik dapat mengawasi dan mengkritisi kebijakan tersebut.

“ICJR mendukung langkah-langkah yang berbasis kemanusiaan dan hak asasi manusia, terutama untuk mengakhiri kriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi,” ujar Maidina dalam pernyataannya pada Minggu (15/12/2024). Namun, ia menekankan pentingnya proses yang transparan dan berbasis kebijakan yang dapat diakses publik.

ICJR menyerukan agar teknis pemberian amnesti dirumuskan dalam peraturan untuk memastikan standar penilaian yang jelas, termasuk pembinaan berbasis aspek psikososial dan kesehatan.

Maidina juga mengkritisi rencana menjadikan napi yang menerima amnesti sebagai tenaga swasembada pangan dan komponen cadangan. Menurutnya, rencana tersebut rentan terhadap eksploitasi. “Jika napi diberikan kesempatan kerja sebagai bagian dari pembinaan, maka hak atas upah mereka harus dipenuhi,” tegasnya.

ICJR mendorong revisi terhadap UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk mendekriminalisasi pengguna narkotika. Maidina menegaskan, pengguna narkotika dalam jumlah tertentu seharusnya menjadi domain intervensi lembaga kesehatan, bukan aparat penegak hukum.

Selain itu, ICJR menyoroti kriminalisasi penghinaan Presiden dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru. Mereka meminta agar aturan tersebut dihapus sebagai bagian dari langkah reformasi hukum yang lebih luas.

ICJR juga memberikan catatan penting terkait napi yang dikeluarkan karena sakit. Menurut Maidina, amnesti tidak serta merta dapat diterapkan pada semua napi sakit, terutama bagi mereka yang melakukan tindak pidana dengan korban teridentifikasi. Dalam kasus seperti itu, grasi atau pengampunan Presiden lebih sesuai.

Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengungkapkan bahwa pemberian amnesti bertujuan untuk mengurangi overcrowding di penjara. Napi yang diusulkan mencakup pengguna narkotika, napi penghinaan kepala negara, napi dengan gangguan jiwa, dan mereka yang terjangkit penyakit berat seperti HIV.

Menurut Supratman, total napi yang diusulkan mencapai sekitar 44.000 orang. “Data dari Kementerian Hukum dan HAM mencatat sekitar 44.000 napi yang memungkinkan untuk diusulkan amnesti,” jelasnya.

Pemberian amnesti ini diharapkan tidak hanya mengurangi beban penjara, tetapi juga menjadi langkah awal dalam mereformasi sistem hukum di Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar kebijakan ini dapat diterima masyarakat luas dan membawa manfaat nyata bagi kehidupan sosial dan keadilan di Tanah Air.