kabarfaktual.com – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa aparat keamanan dan penegak hukum yang lalai hingga menyebabkan kematian warga sipil harus dikenai sanksi pidana, bukan hanya etik. Pernyataan ini merespons insiden penembakan di rest area KM 45 Tol Tangerang-Merak, Kamis (2/1/2025), yang menewaskan Ilyas Abdurrahman (48) dan melukai Ramli Abu Bakar (59).

“Kelalaian aparat yang berujung pada kematian warga sipil harus dipertanggungjawabkan secara pidana dan tidak hanya berhenti pada ranah etik,” ujar Usman, Selasa (7/1/2025).

Usman mendesak pemerintah dan DPR RI untuk mereformasi sistem peradilan militer melalui revisi Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997. Menurutnya, pelanggaran pidana umum yang dilakukan oleh personel militer harus diproses di peradilan umum sesuai amanat Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.

“Pelaku harus diadili melalui peradilan umum, bukan peradilan militer yang cenderung tertutup dan kurang transparan. Hanya dengan langkah ini keadilan bagi korban dapat terwujud dan impunitas yang berlarut-larut bisa diakhiri,” tegasnya.

Amnesty juga menyoroti kelalaian anggota Polsek Cinangka, Banten, yang menolak permintaan korban untuk mendampingi pelacakan kendaraan sebelum insiden penembakan terjadi. Rizky Agam S, anak korban, mengungkapkan bahwa permintaan tersebut bahkan ditolak oleh Kapolsek Cinangka dengan alasan korban belum membuat laporan resmi.

“Mobil itu hanya berjarak 200 meter dari Polsek, tapi kami tidak mendapat bantuan. Bahkan Kapolsek mengira kami leasing mobil,” ujar Rizky.

Panglima Komando Armada TNI AL, Laksamana Madya Denih Hendrata, mengonfirmasi bahwa salah satu pelaku, Sertu AA, membawa senjata api sebagai bagian dari tugasnya sebagai ajudan. Namun, identitas pejabat yang dikawal oleh Sertu AA hingga kini belum diungkap.

“Senjata itu adalah inventaris karena jabatan Sertu AA sebagai ADC (aide-de-camp), sehingga senjata melekat sesuai SOP,” kata Denih dalam konferensi pers, Senin (6/1/2025).