JAKARTA – Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, mengkritik ralat tersangka dan permintaan maaf yang dilakukan KPK terkait kasus dugaan korupsi di Basarnas yang menjerat Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi. Hendardi menilai KPK lemah dan tak kuasa mendapat tekanan dari TNI.
“Peristiwa klarifikasi dan permintaan maaf atas penetapan tersangka anggota TNI, suatu tindakan hukum yang sah dan berdasarkan UU, adalah puncak kelemahan KPK menjaga dan menjalankan fungsinya secara independen. KPK memilih tunduk pada intimidasi institusi TNI, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip kesamaan di muka hukum sebagaimana amanat Konstitusi. Peristiwa ini juga menunjukkan supremasi TNI masih teramat kokoh, karena meskipun tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi, korps TNI pasti akan membela dan KPK melepaskannya,” ujar Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023).
“Peragaan ketidakadilan dalam penegakan hukum ini harus diakhiri. Presiden dan DPR tidak bisa membiarkan konflik norma dalam berbagai UU di atas terus menjadi instrumen ketidakadilan yang melembaga,” imbuhnya.
Hendardi lantas menyoroti permintaan maaf KPK yang dilakukan setelah TNI menyatakan keberatan atas penetapan tersangka tersebut. Dia juga menilai seharusnya TNI tidak menyampaikan keberatan terkait kasus dugaan korupsi di Basarnas itu.
“Keberatan TNI atas suatu proses hukum, tidak seharusnya dilakukan dalam bentuk intimidasi institusi. Dalih anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum adalah argumen usang yang terus digunakan TNI untuk melindungi oknum anggota yang bermasalah dengan hukum. Jikapun TNI tidak sepakat dengan langkah KPK, seharusnya menempuh jalur praperadilan,” jelasnya.
Hendardi mengatakan Pasal 65 ayat 2 dalam UU 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bahwa yurisdiksi peradilan militer hanyalah untuk jenis tindak pidana militer. Sedangkan untuk tindak pidana umum, anggota TNI juga tunduk pada peradilan umum.
Demikian juga, kata Hendardi, Pasal 42 UU 30/2002 tentang KPK, menegaskan kewenangan KPK melingkupi setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, baik ia tunduk pada peradilan umum maupun pada peradilan militer.
“Jadi tidak ada tafsir lain kecuali bahwa KPK seharusnya tidak menganulir penetapan tersangka tersebut,” katanya.
Menurutnya UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menjadi rujukan TNI untuk kasus ini seharusnya batal demi hukum.
“Norma-norma dalam UU 31/1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur subyek hukum peradilan militer seharusnya batal demi hukum karena UU TNI dan UU KPK telah menegaskan sebaliknya. Yakni, jika anggota TNI melakukan tindak pidana umum, maka tunduk pada peradilan umum. Ketidaksamaan di muka hukum dan privilege hukum bagi anggota TNI harus diakhiri. Presiden dan DPR selama ini terus gagal atau digagalkan untuk menuntaskan reformasi UU Peradilan Militer,” jelasnya.(SW)