“Sudah sejak Brexit ya banyak pelaku usaha di Indonesia mencium gelagat bahwa Inggris menjadi salah satu negara yang kurang menarik sebagai mitra dagang utama. Terlebih juga sedang ada krisis energi akibat perang dari Ukraina, itu yang memang sudah diantisipasi sejak lama dan porsi perdagangan Indonesia dengan Inggris relatif lebih kecil. Sehingga dampak jauh di bawah Cina,” katanya.
China sendiri, lanjut Bhima, memiliki porsi 30% sebagai asal impor dan 20% sebagai tujuan ekspor utama produk-produk dari Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, perlu diperhatikan dampak turunan resesi ekonomi yang mengancam negara itu.
Ia pun menyoroti pabrik-pabrik mobil listrik yang ada di China. Tekanan daya beli konsumen berpotensi membuat produksinya menurun, sehingga mengurangi pembelian bahan baku olahan nikel dari Indonesia.
“Itu bisa menyebabkan penurunan tajam penerimaan ekspor Indonesia, surplus perdagangan bisa berubah menjadi defisit perdagangan,” ujarnya.
Kemudian, kondisi berlanjut ke arah keuangan RI dalam pelemahan nilai tukar rupiah. Menurut Bhima, secara logis para investor akan menunda dulu realisasi investasinya dan mengalihkan ke aset yang jauh lebih aman, menyesuaikan situasi di negara asalnya.
1 Komentar