Bergantung Pada China, Siap-siap Indonesia Terdampak Tsunami Krisis China

JAKARTA- Bergantung pada China, siap-siap Indonesia terdampak tsunami krisis China. Selama ini Indonesia paling banyak berhubungan bisnis dengan China. Termasuk pinjaman luar negeri.

Indonesia bila terus bergantung pada China bisa berbahaya. Sebab bila China mengalami krisis ekonomi dampaknya akan ke Indonesia juga.

Ekonomi terbesar ke-2 di dunia, China, kini tengah berada di jurang krisis. Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari pandemi Covid-19 hingga geopolitik dunia.
Di sisi lain, Indonesia menjalin hubungan dagang yang cukup erat dengan negeri tirai bambu itu. Lalu, apakah kondisi ini bisa menular ke RI?

Direktur Center of Economic and Law Studies CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan penularan tersebut bisa saja terjadi, apalagi kalau berbicara mengenai hubungan dagang antara RI dengan China yang cukup erat.

“Bisa jalur transmisinya lebih cepat,” kata Bhima kepada detikcom, Kamis (06/10/2022).

Berbeda dengan krisis besar yang juga tengah melanda Inggris. Menurutnya, Inggris tidak akan terlalu berpengaruh terhadap RI. Apalagi, sejak Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa, para pelaku usaha di Indonesia mengurangi hubungan mitra dagang dengan negara tersebut.

“Sudah sejak Brexit ya banyak pelaku usaha di Indonesia mencium gelagat bahwa Inggris menjadi salah satu negara yang kurang menarik sebagai mitra dagang utama. Terlebih juga sedang ada krisis energi akibat perang dari Ukraina, itu yang memang sudah diantisipasi sejak lama dan porsi perdagangan Indonesia dengan Inggris relatif lebih kecil. Sehingga dampak jauh di bawah Cina,” katanya.

Baca Juga:   Wadahi Start Up Pertanian Pemula, Polbangtan Kementan Luncurkan IBT

China sendiri, lanjut Bhima, memiliki porsi 30% sebagai asal impor dan 20% sebagai tujuan ekspor utama produk-produk dari Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, perlu diperhatikan dampak turunan resesi ekonomi yang mengancam negara itu.

Ia pun menyoroti pabrik-pabrik mobil listrik yang ada di China. Tekanan daya beli konsumen berpotensi membuat produksinya menurun, sehingga mengurangi pembelian bahan baku olahan nikel dari Indonesia.

“Itu bisa menyebabkan penurunan tajam penerimaan ekspor Indonesia, surplus perdagangan bisa berubah menjadi defisit perdagangan,” ujarnya.

Kemudian, kondisi berlanjut ke arah keuangan RI dalam pelemahan nilai tukar rupiah. Menurut Bhima, secara logis para investor akan menunda dulu realisasi investasinya dan mengalihkan ke aset yang jauh lebih aman, menyesuaikan situasi di negara asalnya.

Demikian pula dengan impor. Ia mengatakan, khususnya pada industri perakitan otomotif, elektronik, serta proyek konstruksi yang banyak menggunakan bahan baku dari negeri tirai bambu itu.

“Harga di dalam negeri akan lebih meningkat, sementara dari sisi konsumen tentu belum siap maka yang terjadi adalah penurunan penjualan. Opsi kedua, pelaku usaha masih menahan harga tapi kualitas barangnya akan diturunkan,” katanya.

Baca Juga:   KTNA, PERHIPTANI dan FKP4S Ungkap Alasan Tolak Impor Beras

Oleh karena itu, kenaikan suku bunga kemungkinan terjadi kembali. Begitu pula dengan pelemahan nilai tukar rupiah akibat imported inflation atau inflasi yang didorong naiknya biaya impor. Menurut Bhima, RI seolah merasakan gejala resesi ekonomi dari negara-negara mitra dagang utamanya.

“Sudah mulai terasa satu minggu terakhir terjadi fluktuasi nilai tukar Rupiah yang cukup signifikan. kemudian selain itu juga terjadi kenaikan suku bunga yang cukup agresif yang dilakukan oleh bank sentral. Makanya sudah mulai terasa dari inflasi. Data terakhir kan hampir mencapai 6%, merupakan angka tertinggi sejak 2014,” katanya.