“Saat masyarakat meminta agar Presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU ini, Presiden justru mempersilahkan pihak-pihak yang tidak setuju agar menguji di MK. Sayangnya, saat MK telah memutuskan bahwa UU ini inkonstitusional, pemerintah justru membangkangi putusan tersebut,” kata KontraS dalam keterangan tertulis dengan nama Koordinator Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidyanti, ini.
KontraS juga mencatat, Menkumham Yasonna Laoly sempat menyatakan bakal patuh terhadap putusan MK. Namun dengan terbitnya Perppu, itu menunjukkan pemerintah tidak konsisten karena tidak patuh terhadap putusan MK. KontraS menyebut pemerintah otoriter dan memaksakan kehendak.
Syarat terbitnya Perppu berupa ‘kegentingan yang memaksa’ juga tidak terpenuhi. Alasan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa saat ini Indonesia menghadapi ancaman global juga tidak relevan masuk sebagai ‘kegentingan yang memaksa’.
“Langkah Jokowi ini juga kembali menegaskan bahwa nilai-nilai demokrasi kian ambruk ditandai dengan sentralisasi kekuasaan Presiden. Hal ini sekaligus menandai Indonesia kian dekat pada negara otoritarian sebagaimana yang terjadi pada orde baru,” kata KontraS.
Tinggalkan Balasan