Kontroversi Pernyataan Warga NU Tak Pilih AMIN Korslet

JAKARTA – Pimpinan PKB bicara warga Nahdlatul Ulama (NU) yang tak memilih pemimpin dari NU berarti korslet. Pernyataan elite PKB itu direspons keras oleh petinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

PKB diketahui mengusung calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (AMIN), dalam Pemilu 2024.

“Kita pastikan visi-misi AMIN adalah untuk kemakmuran Indonesia. Kalau ada warga NU tidak memilih pemimpin dari NU menurut saya, korslet,” kata Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid, saat pidato di acara silaturahmi dan konsolidasi di Sunset 100 Hotel, Badung, Bali, Jumat (26/1).

Jazilul mengatakan Anies-Muhaimin merupakan calon pemimpin yang memiliki niat baik. Dia meyakini pasangan AMIN dapat menjadi simbol persatuan.

“Kita punya pemimpin yang jelas ilmunya agamanya, memiliki niat yang baik. Itu pasangan nomor 1. Saya yakin Gus Imin kita jadikan beliau sebagai simbol pemersatu,” ujarnya.

Wakil Ketua MPR ini mengatakan Anies-Cak Imin akan mengantarkan Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur. Dia juga mengatakan AMIN bakal menghadirkan keadilan untuk kawasan Selatan dan Utara Bali.

Baca Juga:   BPS Catat Kenaikan Harga Beras Eceran 11,88 Persen pada Juni 2024

“Setahu saya pemimpin Indonesia yang memiliki simbol persatuan adalah Gus Imin. Termasuk di Bali ingin ada keadilan untuk Bali Selatan dan Utara. Saya yakin Gus Imin mengantarkan Indonesia menuju negara adil makmur,” ucapnya.

Wasekjen PBNU Sulaeman Tanjung merespons pernyataan Jazilul Fawaid yang menyebut warga NU tak memilih pasangan Anies Baswedan-Muhaimin korslet. Sulaeman membalas pihak AMIN dengan menyebut warga NU korslet apabila memilih kelompok ‘kanan garis keras’.

“Warga NU itu sudah cerdas. Tidak akan pilih calon yang dekat dengan kelompok garis kanan, garis keras. Warga NU yang bermesraan dengan garis kanan itu yang korslet. Jangan dibalik-balik,” kata Suleman Tanjung dalam keterangan tertulis, Jumat (26/1).

Soal apa itu ‘kanan garis keras’, Sulaeman tidak menjelaskan lebih lanjut. Hanya, berdasarkan catatan mengenai spektrum ideologi politik di Barat, kelompok politik sayap kanan identik dengan kapitalisme konservatif yang menentang intervensi negara ke ekonomi pasar (prinsip ‘laissez-faire’), pro-liberalisasi pasar.

Ideologi politik sayap kanan termasuk juga kelompok ultra-nasionalisme, chauvinisme, fasisme, Nazisme di Jerman, Hindutva di India, hingga apartheid.

Baca Juga:   Presiden Jokowi Melantik Tiga Wakil Menteri Baru Kabinet Indonesia Maju

Sayap kiri dalam spektrum politik Barat identik dengan ideologi progresif penentang konservatisme, anti-kapitalisme, anti-oligarki, anti-borjuisme, lebih dekat ke sosialisme dan komunisme, cenderung terafiliasi dengan kelompok buruh dan kelas bawah, dan pada bentuk ekstrem (kiri jauh/far left) bisa berwujud ideologi anarkisme (non-statism) atau Marxisme-Leninisme ala Uni Soviet (statism).

Bagaimana dengan di Indonesia? Sayap kiri dalam wujud sosialisme, apalagi komunisme, cenderung sudah tidak menonjol lagi selepas 1965. Namun tak dimungkiri di era perbincangan politik kekinian, istilah politik ‘kanan’ dan ‘kiri’ sering kali tidak diikuti penjelasan memadai, seolah-olah semua sudah jelas dengan sendirinya.(SW)