PDIP Minta Kenaikan PPN 12 Persen Dikaji Ulang, Menurunkan Daya Beli Rakyat

JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR Fraksi PDIP, Andreas Eddy Susetyo, meminta kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 dikaji ulang.

Hal ini disampaikannya dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPR, Senayan pada Selasa, 19 Maret 2024.

Menurut Andreas, daya beli masyarakat akan semakin lemah akibat kenaikan PPN tersebut meskipun konsumsi domestik diprediksi masih kuat.

“Untuk yang kelompok bawah, sudah kita sediakan Bansos. Tapi justru yang menengah, yang pendapatannya Rp 4 sampai 5 juta itu sebagian besar dan itu berpengaruh kepada kemampuan daya beli mereka,” tutur Andreas.

Atas kondisi tersebut, dia menilai bahwa belum ada kebijakan yang dibuat sebagai jalan keluar. “Padahal kalau kita lihat, fenomena ini banyak yang sudah mulai makan tabungan, mantab.”

Jika daya beli kelompok menengah ini tergerus, kata dia, maka akan menjadi tantangan tersendiri. “Nah, di sini kami minta supaya dikaji lagi rencana kenaikan PPN 12 persen di tahun 2025. Kita memang membahas bersama undang-undang, tapi waktu itu kan 12 persen itu karena kita tidak ingin kenaikan sekaligus, bertahap,” ujarnya.

Andreas melanjutkan, kondisi perekonomian mesti jadi pertimbangan dalam memutuskan kebijakan ini. Seperti halnya bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) yang belum menurunkan tingkat suku bunga.

“Timing-nya pun kalau mau naik, kenapa gak menunggu, misalkan The Fed sudah menurunkan tingkat bunga. Ini kan sebetulnya kita perlu meramu satu kebijakan di antara optimisme yang ada,” tutur dia.

Maka dari itu, menurut Andreas, kenaikan PPN menjadi 12 persen sama dengan memukul masyarakat golongan menengah. “Kalau golongan menengah digebuk lagi dengan kenaikan PPN itu, bukannya akan malah memperlambat pertumbuhan ekonomi?” ucap dia.

Baca Juga:   Tak Hanya Lewat Chat Saja, Ini 7 Cara Mudah Cek Nomor WhatsApp Kamu Diblokir

Hal ini, kata dia, nantinya akan berdampak kepada penerimaan negara. “Saya kira ini mohon betul-betul dikaji ulang, terutama dari segi penerimaan negara tersebut.”

Pendapat senada diutarakan oleh Anggota Komisidari PKS, Anis Byarwati. Sejak awal, PKS memang menolak rencana kebijakan tersebut.

“Tapi kami juga ikut prihatin. Di tengah harga beras naik, PPN juga ikut naik 12 persen, tol juga ikut naik. Jadi, daya beli masyarakat yang memang sudah lemah, makin terpuruk kembali,” tuturnya dalam rapat.

Anis setuju dengan Andreas bahwa masyarakat kelas menengah pasti tidak akan dapat Bansos. Mereka memang tidak termasuk kelompok miskin yang berhak menerimanya. Namun secara finansial, mereka belum bisa dibilang aman.

“Dibilang sudah aman juga tidak, karena pendapatannya tidak memungkinkan dia untuk bergerak lebih lincah. Menahan belanja, mungkin.”

Sementara itu, Anggota Komisi dari Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun menyatakan, jika pemerintah memang mau disiplin dengan targetnya, maka Golkar mendukung. Dia berpatokan pada Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang mendukung kebijakan tersebut.

Meskipun demikian, dia menyebut bahwa dampak dari kenaikan PPN yang dijadwalkan berlaku per 1 Januari 2025 itu harus diantisipasi. Dampak yang dimaksud Misbakhun adalah terhadap daya beli masyarakat.

“Perlu kajian yang mendalam soal penerapan PPN ini, karena konsumsi yang akan dikenakan PPN ini menjadi bagian porsi paling besar di dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ucapnya.

Misbakhun menjelaskan, 56 sampai 58 persen perekonomian Indonesia bersumber dari konsumsi. Dengan adanya kenaikan PPN, maka masyarakat pasti akan mengalami kerentanan terhadap. Walaupun, PPN ini mengecualikan kebutuhan barang pokok, jasa pendidikan dan jasa kesehatan.

Baca Juga:   Sistem Pembayaran Digital Antar Negara Topik Hangat di Pertemuan G20

“Ini menurut saya perlu disosialisasikan ke masyarakat secara luas dan ini menurut saya adalah sebuah keberpihakan yang jelas dari negara bahwa hal-hal seperti itu memang diberikan sebuah pengecualian yang tegas.”

Sri Mulyani mengatakan bahwa kementeriannya telah menyetujui kebijakan PPN 12 persen, melalui Undang-undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, Kementerian Keuangan menghormati pemerintahan yang baru karena sopan santun dalam berpolitik.

Selain itu, menurut dia, pemerintahan baru tentu akan membahas target-target penerimaan negara pada periode pemerintahan tersebut. “Jadi kalau target penerimaan negara PPN-nya tetap 11 persen, ya pasti nanti disesuaikan. Kalau target penerimaan negaranya di-adjust dengan UU HPP, nanti akan dibahas juga,” kata Sri Mulyani.

Dia menjelaskan, kementeriannya mencoba menjaga siklus politik, siklus anggaran, dan ketaatan kepada UU. “Pada saat yang sama, juga etika berpolitik dalam hal ini, karena etika berpolitik itu ya komunikasi dengan semua pihak. Yang paling penting dalam hal ini kan sentimen, persepsi terhadap APBN yang tetap harus dijaga.”(SW)