Kesehatan Mental Remaja Jepang Jadi Sorotan, Banyak yang Bunuh Diri

JAKARTA – Kesehatan mental pada remaja di Jepang disorot oleh ilmuwan. Peneliti di University of Tokyo telah melakukan penelitian selama enam tahun untuk mengetahui apa saja masalah kesehatan mental pada remaja di Jepang dan bagaimana dampak yang bisa terjadi.

Mereka menggunakan deep learning untuk mengidentifikasi kelompok remaja mana yang paling membutuhkan dukungan kesehatan mental. Peneliti melakukan survei 2.344 remaja dan pengasuhnya, dan menggunakan pembelajaran mendalam berbasis komputer untuk memproses hasilnya.

Diketahui, bahwa hampir 40% dari mereka yang terlibat tergolong dalam kelompok dengan beberapa masalah. Dari jumlah tersebut, hampir 10% hidup dengan masalah kesehatan mental yang belum teridentifikasi oleh pengasuh mereka. Padahal, kelompok ini paling berisiko melukai diri sendiri dan memiliki keinginan untuk bunuh diri.

Dikutip dari laman resmi Universitas Tokyo, peneliti juga mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan remaja melakukan bunuh diri dan siapa yang paling berisiko.

Menurut mereka, ini adalah kunci untuk mendukung upaya pencegahan dan intervensi dini. Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan kuesioner laporan diri tentang masalah psikologis dan perilaku seperti depresi, kecemasan, self-harm, dan kurangnya perhatian.

Mereka juga memperhatikan faktor-faktor seperti kesehatan ibu selama kehamilan, perundungan, dan kondisi psikologis pengasuh. Penelitian ini melibatkan 3.171 remaja dan 2.344 pasangan remaja dan pengasuh yang berpartisipasi dalam penelitian.

Selama penelitian, anak-anak diperiksa pada usia 10, 12, 14, dan 16 tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami psikopatologi remaja yang beragam dan dinamis.

Baca Juga:   Prabowo Resmikan Kantor DPD Gerindra di Banten

Sebagai informasi, pada tahun lalu di Jepang, 514 remaja dan anak-anak berusia 18 tahun ke bawah secara tragis kehilangan nyawa karena bunuh diri. Angka ini merupakan angka tertinggi pada kelompok usia ini sejak pencatatan dimulai pada tahun 1978.

Para pejabat berspekulasi bahwa permasalahan yang berkaitan dengan sekolah, hubungan pribadi dan keluarga yang sulit, serta dampak pandemi yang berkepanjangan mungkin berkontribusi pada tingginya jumlah kematian.

Studi dengan menggunakan deep learning ini telah mengklasifikasikan remaja ke dalam lima kelompok berdasarkan perilaku dan masalah psikologis yang mereka alami.

Kelompok terbesar adalah remaja yang tidak terpengaruh (kesehatan mental), sedangkan kelompok terkecil adalah mereka yang mengalami masalah parah.

Para peneliti juga menemukan bahwa remaja dalam kelompok ‘tidak terpengaruh’, ternyata memiliki risiko tertinggi untuk melukai diri sendiri.

Melalui data ini, para peneliti dapat memprediksi dengan signifikan siapa yang akan masuk ke dalam kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan mental. Hal ini didasarkan pada apakah anak tersebut menghindari mencari bantuan untuk depresi dan apakah pengasuhnya juga memiliki masalah kesehatan mental.

Dalam hal ini, kondisi mental pengasuh nyatanya dapat memengaruhi kesehatan mental remaja melalui faktor genetik dan lingkungan pengasuhan.

Baca Juga:   Pejabat Senior Hamas dan Fatah akan Bertemu di China untuk Upaya Rekonsiliasi

Peneliti menuturkan bahwa studi ini memungkinkan tim untuk mengidentifikasi faktor risiko yang dapat digunakan untuk memprediksi kelompok mana remaja mungkin butuh pertolongan.

Sebab, hal ini telah menjadi perhatian yang sangat serius bagi dunia. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengidentifikasi bunuh diri sebagai masalah kesehatan masyarakat global yang utama.

WHO mengatakan bahwa bunuh diri dapat dicegah melalui intervensi berbasis bukti dan dengan mengatasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan buruknya kesehatan mental.

“Kami baru-baru ini menemukan bahwa remaja yang dianggap tidak memiliki masalah oleh pengasuhnya sebenarnya memiliki risiko bunuh diri tertinggi,” kata Daiki Nagaoka, seorang mahasiswa doktoral di Departemen Neuropsikiatri di Universitas Tokyo dan seorang psikiater rumah sakit.

“Jadi penting bagi masyarakat secara keseluruhan, daripada hanya mengandalkan pengasuh, untuk mengambil peran aktif dalam mengenali dan mendukung remaja yang mengalami kesulitan dalam mencari bantuan dan yang kesusahannya seringkali terabaikan,” tutupnya.(SW)