JAKARTA – Kuasa hukum Cristalino David Ozora, Mellisa Anggraini mengaku heran dengan sikap KPAI itu. KPAI justru bersikap tak adil dengan membela pelaku kekerasan ketimbang korbannya. Mellisa menyebut persidangan terhadap anak AG digelar secara terbuka untuk umum dan sudah sesuai prosedur.
“KPAI tolonglah, kita semua tahu sidang putusan itu sifatnya terbuka untuk umum, semua sudah sesuai dengan prosedur, harusnya dorong agar anak-anak tidak lagi melakukan aksi kriminal, bukan melindungi serperti ini,” kata Mellisa di akun Twitternya. Mellisa telah mengizinkan untuk dikutip.
Mellisa mengatakan pertimbangan yang dibacakan hakim adalah untuk memutuskan bersalah atau tidaknya anak AG dalam kasus ini. Mellisa mempertanyakan sikap diam KPAI saat David dituding melakukan pelecehan.
“Seluruh pertimbangan dalam memutuskan apakah unsur tindak pidana terpenuhi atau tidak tentu harus dibacakan sehingga menjadi dasar dalam hakim memutuskan vonis hukum,” kata Mellisa.
“Apakah KPAI tenang jika isu pelecehan terhadap anak David yang berkembang tanpa publik tau kebenarannya sama sekali? Kemarin KPAI diam saat anak korban David difitnah melecehkan, ini juga anak loh.” sambungnya.
Seperti diketahui sebelumnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Komisi Yudisial (KY) memeriksa Sri Wahyudi Batubara, hakim ketua pengadil anak AG dalam kasus penganiayaan Cristalino David Ozora. KPAI membeberkan sejumlah alasan terkait desakan tersebut.
Hal ini dipaparkan KPAI melalui keterangan pers yang dimuat di situs KPAI. Total ada 7 hal yang menjadi perhatian KPAI terkait sidang AG dan 6 rekomendasi.
“Meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa hakim Sri Wahyudi Batubara (Hakim Anak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) secara etik terkait proses persidangan terhadap anak AG yang melanggar beberapa prinsip dan hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum,” tulis keterangan pers KPAI, Selasa (18/4/2023) lalu.
KPAI mengatakan hakim membacakan pertimbangan secara rinci di persidangan mengenai aktivitas seksual anak AG dengan Mario Dandy. Menurut KPAI hal itu bertentangan dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim yang seharusnya hati-hati dan memperhitungkan akibat dari pembacaan tersebut.
“Pertimbangan hakim yang dibacakan dalam sidang terbuka menyebutkan aktivitas seksual anak dengan Mario (terdakwa dewasa) cenderung rinci, bertentangan dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim yakni berperilaku arif dan bijaksana. Di mana hakim diharapkan memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi, hati-hati, dan memperhitungkan akibat dari tindakannya. Dampak dari pembacaan tersebut adalah meningkatnya frekuensi labelling pada anak,” tulis KPAI.
Selain itu, KPAI juga meminta Komisi Kejaksaan untuk memeriksa jaksa penuntut umum yang menangani kasus AG. KPAI melihat JPU tidak menyertakan hasil pemeriksaan psikolog forensik terhadap anak AG di persidangan.
“Meminta Komisi Kejaksaan agar memeriksa jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang menangani perkara kasus AG karena tidak menyertakan hasil pemeriksaan psikolog forensik terhadap anak,” tulis KPAI.
Kemudian KPAI juga meminta Kompolnas untuk memeriksa dugaan pelanggaran hak anak selama proses penyidikan di kepolisian. KPAI menyoroti terbukanya identitas dan kehidupan pribadi anak AG sehingga menambah trauma.
“Meminta Komisi Kepolisian Nasional untuk memeriksa dugaan pelanggaran hak anak selama proses penyidikan di Polres Jakarta Selatan yang mengakibatkan terpublikasinya identitas dan kehidupan pribadi anak sehingga menambah trauma pada anak. SPPA berusaha keras untuk menjauhkan anak dari dampak buruk peradilan pidana,” tulis KPAI.
Lebih lanjut, KPAI mengatakan paradigma keadilan restoratif wajib digunakan dalam sistem peradilan anak. Hal itu, kata KPAI, bisa dilakukan mulai dari tahap pra adjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi serta tahap reintegrasi sosial.
“Sistem peradilan pidana anak bersifat khusus karena mempertimbangkan kondisi anak dan hak-haknya. Paradigma keadilan restoratif wajib digunakan mulai dari tahap pra adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi termasuk tahap reintegrasi sosial,” tulis KPAI.(SW)