Dalam Putusan MK Muncul Istilah Dissenting Opinion, Simak Pengertiannya Disini!

Apa itu Dissenting Opinion yang sering disebut dalam sidang putusan MK. (Foto: dok. www.mkri.id)
Apa itu Dissenting Opinion yang sering disebut dalam sidang putusan MK. (Foto: dok. www.mkri.id)

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membuat sejarah dengan menolak seluruh permohonan sengketa hasil pilpres 2024, yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Kemudian sering muncul istilah dissenting opinion.

Namun, yang menarik dari putusan ini adalah bahwa dari 8 hakim MK yang terlibat, 3 di antaranya menyatakan dissenting opinion, yang merupakan kejadian pertama dalam sejarah sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres di MK.

Tetapi, apa sebenarnya pengertian dari istilah dissenting opinion yang muncul dalam putusan MK ini? Simak dibawah ini.

Definisi

Menurut definisi yang diuraikan dalam Jurnal Kajian Dan Penelitian Hukum yang ditulis oleh Muhamad Rusdi, dissenting opinion diatur secara normatif dalam Pasal 45 ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Hal ini menjelaskan bahwa istilah ini terjadi ketika putusan tidak tercapai mufakat bulat, dan pendapat hakim yang berbeda diungkapkan dalam putusan.

Definisi tersebut juga dipertegas dalam laman resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang menjelaskan bahwa dissenting opinion adalah perbedaan pendapat antara hakim terhadap putusan yang diambil.

Baca Juga:   Putusan MK Soal UU Pilkada: Langsung Berlaku di 2024?

Namun, perlu diingat bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sesuai dengan Pasal 10 Undang-undang MK.

Lebih lanjut, dalam Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Keagamaan karya Muhammad Saleh Suat, istilah ini dipandang sebagai identitas hakim terhadap suatu kondisi, nilai, dan penafsiran yang dianggap benar.

Keberadaannya menghadirkan akuntabilitas dan kredibilitas intelektual, terutama dalam prinsip kehati-hatian untuk memutuskan suatu perkara.

Peraturan Mengenai Dissenting Opinion

Pengaturan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 14 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.

Dalam proses tersebut, tiap hakim harus mengemukakan alasan atau pandangan tertulis terkait kasus yang sedang diaudit, yang nantinya akan menjadi bagian integral dari keputusan akhir.

Jika dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.

Dengan demikian, putusan MK dalam sengketa hasil pemilihan Presiden-Wakil Presiden yang menghasilkan dissenting opinion pertama kali dalam sejarah perkara PHPU Presiden di MK menggambarkan betapa kompleksnya proses pengambilan keputusan di lembaga tersebut.***