kabarfaktual.com — Suasana rapat kerja Komisi X DPR bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (2/7), memanas dan berubah menjadi emosional saat isu pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 kembali mencuat.
Momen penuh ketegangan terjadi ketika Fadli Zon menyampaikan keraguannya atas penggunaan istilah “pemerkosaan massal” dalam peristiwa tersebut. Pandangannya memicu reaksi keras dari sejumlah anggota dewan, salah satunya Mercy Chriesty Barends dari Fraksi PDI Perjuangan.
“Pak Menteri, mohon baca kembali testimoni-testimoni korban yang kami bawa. Sulit dipercaya seseorang di posisi Anda menyangkal peristiwa yang begitu menyayat hati. Ini bukan perkara statistik. Satu kasus saja sudah cukup mengguncang kemanusiaan!” tegas Mercy dengan suara bergetar.
Rapat yang sejatinya membahas anggaran Kementerian Kebudayaan tahun 2026 pun beralih fokus ke polemik lama yang belum tuntas secara sosial maupun hukum. Wakil Ketua Komisi X DPR, My Esti Wijayati, bahkan tak kuasa menahan air mata saat menyampaikan kekecewaannya terhadap pernyataan Fadli.
Menanggapi kritikan tersebut, Fadli Zon menjelaskan bahwa ia tidak menafikan adanya tindak kekerasan seksual dalam tragedi 1998. Namun ia mempertanyakan akurasi pelaporan yang menyebut kejadian tersebut sebagai “massal”.
“Saya membaca dokumen Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) secara lengkap. Kita semua sepakat bahwa setiap pelanggaran harus dikutuk dan diusut. Tapi narasi yang beredar saat itu termasuk foto-foto dari luar negeri yang tidak relevan—perlu diverifikasi agar tidak menjadi alat provokasi,” ujarnya.
Fadli juga menyoroti beberapa laporan media asing, seperti Far Eastern Economic Review, yang menurutnya memuat gambar dan narasi yang tidak bersumber dari fakta lapangan di Indonesia.
“Beberapa sumber visual ternyata berasal dari luar negeri, dan ini dimanfaatkan untuk membentuk opini publik global yang cenderung mengadu domba,” tambahnya.
Pernyataan Fadli Zon itu terus mendapat sorotan. Sejumlah legislator mendesak agar ia menyampaikan permintaan maaf kepada para penyintas yang selama ini berjuang mendapatkan pengakuan.
“Tidak cukup hanya bicara data. Ini soal empati, soal keberpihakan kepada korban,” ungkap Mercy.
Di tengah perdebatan, Fadli Zon tetap pada pendiriannya bahwa pendokumentasian yang akurat dan bebas dari manipulasi sangat penting agar tragedi 1998 tidak digunakan untuk memecah belah masyarakat atau menjadi alat kepentingan politik.
Rapat pun ditutup dengan suasana tegang dan emosional, sementara polemik seputar pengakuan terhadap kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 tampaknya masih jauh dari kata selesai.
Tinggalkan Balasan